Rabu, 16 Maret 2011

Should all women be a Stay-at-home-mom?

Beberapa hari yang lalu, teman saya melontarkan pertanyaan melalui status di facebook. 'Do you think women should give up their career and be a stay-at-home-mom?'. Pertanyaan simple yang bisa dijawab sependek kata 'Ya' dan 'Tidak'. Tapi hasilnya menjadi perdebatan panjang dengan pandangan beragam.

But really, you'll never know your real answer until you experience it yourself. Waktu saya single, saya bersumpah untuk menjadi career woman seperti ibu saya. Jadi bos, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, menikmati hidup saya berpindah-pindah tempat di merata dunia.

Bukannya saya menyesali kehidupan saya sekarang. Tak habis-habis syukur saya kepada Allah diberikan kenikmatan hidup di dunia seperti sekarang. Memiliki pilihan untuk tinggal dirumah, menemani anak-anak saya dan melayani suami saya sepenuh hati.

Di zaman modern seperti saat ini, dimana perempuan dan laki-laki hampir memiliki kesempatan karir yang sama, semua hampir bisa dilakukan perempuan. Banyak yang sampai menempati posisi-posisi tinggi di perusahaan. Di negara kitapun, tercatat pernah memiliki wanita sebagai presiden. Siapa bilang perempuan harus menghentikan harapannya memiliki karir bagus ketika memiliki anak?

Untuk beberapa keluarga, yang tidak cukup memiliki satu sumber penghasilan, ibu bekerja adalah opsi terbaik untuk menopang hidup. Namun, dengan banyaknya pilihan cara bekerja hari ini, ibu juga bisa memilih untuk bekerja dari mana saja dan di mana saja. Beberapa ibu super kreatif, bahkan bisa merubah kehidupan keluarganya, dengan berbisnis online dari rumah.

Life is about choices. Memilih untuk meneruskan bekerja, by choice ataupun karena diperlukan, sama sekali bukan pilihan yang salah. Apa gunanya sekolah tinggi-tinggi kalau ilmunya tidak digunakan? Memilih untuk stay dirumah, menggunakan ilmu yang kita miliki untuk membesarkan anak, memang bukan untuk semua. Walaupun pastinya adalah pilihan terbaik untuk anak.

Saya yakin, Tuhan menciptakan setiap manusia memiliki peran dan fungsinya masing-masing. Jalani tiap peranan sebaik-baiknya. Jadilah manusia yang memiliki added-value ke dalam kehidupan orang lain, terutama di kehidupan pasangan kita dan anak-anak kita.

Apapun pilihan Anda, pastikan bahwa itu yang terbaik bagi Anda, anak Anda dan kehidupan berkeluarga Anda. Karena anak adalah titipan Tuhan, jika kita mau menitipkannya ke orang lain selama kita melaksanakan tugas kita, pastikan dia terjaga dengan baik.

Memang pilihan yang berat, bukan?
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu, 05 Maret 2011

Berkomitmen atau tidak sama sekali

Pelajaran hidup dan komitmen saya dapatkan dari Pak Supir Taxi pagi ini. Yang berlinang air mata, menerima telpon dari anak ke-2nya yang besok UTS. Minta ijin menjawab telpon sambil menyetir, sebentar saja katanya, cuma untuk bilang 'Belajar ya Nak, mudah2an nilai kamu baik semua'.

Si Pak Taxi, di masa kejayaannya, adalah seorang businessman. Kerja keras memulai usaha dari nol, yang walaupun omsetnya tidak begitu besar, dia bisa memiliki rumah besar di Cilegon, membesarkan dan menyekolahkan 4 anaknya bersama istri yang dicintai.

Sampai Allah memberikan cobaan pada cinta mereka. Usahanya bangkrut, menyisakan hanya sedikit saja modal usahanya, untuk bertahan hidup beberapa minggu saja. Si Bapak pun, dengan segala kemampuan yang ada, mencari pekerjaan, apa saja, yang bisa memberikan penghasilan, berapa saja, untuk menyekolahkan 2 anaknya yang besar dan membeli susu untuk 2 anaknya yang masih kecil.

Singkat cerita, istrinya pun tak tahan dan akhirnya menggugat cerai. Mengeluarkan si Bapak dari rumah, dan membawa orangtuanya tinggal bersama di rumah yang dibangun si Bapak.

Saya sudah terbayang betapa hancurnya hati si Bapak. Yang ditinggal orang yang dicintai, bukan karena dia pindah ke lain hati, bukan karena dia tidak berusaha keras untuk menyayangi keluarganya. Sambil menyeka mata dengan lap lusuh, si Bapak masih bercerita 'Kok tega ya istri saya, Mbak. Saya tu cinta mati sama dia'. Tenggorokan saya tersekat, kata-kata seperti tertahan tak bisa keluar, tak tahu mau memulai dari mana.

Begitu hebatnya uang, yang ketidak-beradaannya membuat 2 orang yang tadinya mencintai, menjadi jauh. Memisahkan si Bapak dari anak-anaknya, yang masing-masing dibesarkan dengan sepenuh hati, sementara istrinya bekerja paruh waktu.

Hari ini genap sebulan dia memulai hidup yang 180 derajat berbeda, menyetir taxi nengumpulkan uang dan tips sebanyak-banyaknya, mengirim uang sesering mungkin, supaya anaknya terus bersekolah dan tidak kekurangan.

Sampai dirumah, dengan memberi tips sekadarnya, gumpalan kabut kelabu masih tersisa di hati saya. Betapa pentingnya komitmen sebelum pernikahan. Berkomit untuk berkongsi hidup, berkongsi senang dan susah, bahkan berkongsi harta. Berkomit untuk menghibur yang satu, bila sedih. Berkomit untuk tetap bersama, walaupun yang satu tidak sama seperti yang diharapkan. Berkomit untuk tidak meninggalkan, bila yang satu terpuruk dalam keadaan terburuknya.

Karena setelah diikat oleh pernikahan, kita menyatukan dua kehidupan kedalam satu rumah. Dan membatalkan ikatan tersebut, berarti menghilangkan cahaya kehidupan orang yang terhubung dalam ikatan tersebut. Sanggupkah kita berkomitmen?

Picture taken from here: http://www.totalfinancialconcepts.com/files/10023/old%20couple.jpg
Powered by Telkomsel BlackBerry®